Sabtu, 24 Oktober 2009

Kalam Habib Muhammad bin Abdullah al-Aydrus



Antara Jujur Dan Dusta

Sadarkah kita, apa yang hilang dari negeri ini? Kejujuran. Ya. Kejujuran sepertinya punah di negeri ini. Ia telah menjadi semacam fosil yang terkubur jauh di lubuk gunung karang nun di dasar samudera sana, sulit untuk dicari.

Kini, negeri ini riuh dengan dusta. Di pasar, di kantor-kantor, di lapak-lapak pertokoan, di layar-layar televisi, dusta mewabah begitu dahsyatnya. Nyaris tak sejengkal perilaku dan ucapan pun terselamatkan dari kuman-kuman dusta. Walhasil, seperti kita rasakan sekarang, negeri tercinta ini pun ambruk ke kubangan krisis. Dan, sulit rasanya untuk bangun kembali bila tetap bertumpu pada pilar-pilar dusta itu.

Untuk itu, mari kita coba berdiri dengan energi kejujuran. Kita lazimkan kejujuran di setiap perbuatan dan perkataan kita. Insya Allah, bukan tidak mungkin, kita segera bangkit. Kita kembali kokoh seperti dahulu lagi. Yakinlah, dengan bekal kejujuran, kita dilingkupi berkah dan inayah yang melimpah dari Allah jalla jalaaluhu. Camkan nasehat Habib Muhammad bin Abdullah bin Syekh al-Aydrus berikut ini,

“Saudaraku, ketahuilah, manakala dirimu berlaku jujur dalam mengejar cita-cita, dan setia menjaga perilaku dengan muamalah yang baik, maka Sang Kuasa bakal mengarahkan pertolongan-Nya padamu, Ia SWT takkan segan menaburkan berkah padamu, dan membuatmu merasakan manisnya pergaulan, hingga hatimu pun menjadi lapang.”

“Sudah sepatutnya, saudaraku,” lanjut Habib Muhammad. “letakkanlah kejujuran di pelupuk mata, selalu. Jadikanlah ia sebagai landasan atas tujuan-tujuanmu. Sebutir petuah berkata penuh kearifan, “Kejujuran adalah pedang Allah SWT di persada bumi ini. Tidaklah ia diletakkan pada sesuatu, kecuali ia akan memotongnya.”

Maksud petuah diatas kurang lebih sebagai berikut; kejujuran adalah senjata pamungkas bagi setiap individu untuk meraup kesuksesan. Sebab, dengan jujur ia bisa dipercaya orang. Dengan kepercayaan itu, seorang pegawai akan mudah menapaki tangga karir. Bermodal kepercayaan, seorang saudagar akan lebih lancar memutar roda niaganya.

Selanjutnya Habib Muhammad menguarai lebih dalam lagi soal kejujuran, “Ketahuilah, kejujuran ada dua definisi. Kejujuran lisan dan kejujuran hati. Kejujuran hati adalah akar kejujuran lisan. Ia adalah sandaran manusia. Kejujuran lisan amatlah baik. Tapi kejujuran hati adalah sumber kebaikan itu. Hati yang jujur adalah lambang keelokan batin dan jiwa seseorang.

“Adapun dusta, ia adalah perilaku buruk. Dan dusta yang mengerak di hati lebihlah buruk. Itu adalah tengara keroposnya batin seseorang. Hati yang berlumuran dusta adalah hati dari sebuah jiwa yang bermatabat rendah. Dari hati ragam inilah, praktek-praktek lancung senantiasa tumbuh. Perbuatan-perbuatan itu senyatanya lebih menjijikkan dari dusta berwujud kata-kata. Kebohongan akan selalu mewarnai tindak-tanduk orang yang berbatin rusak itu.”

“Manusia, manakala hidup dengan kualitas jiwa rendah, serta tak peduli lagi dengan pandangan-pandangan negatif atas dirinya, maka, tingkah lakunya senantiasa merefleksikan kebusukan dan kehinadinaan di dalam pribadinya. Sedang manusia mulia, ia senantiasa menyadari segala kekurangannya, kemudian segera membenahinya, sekalipun orang sekitar tak pernah memerhatikannya.”

“Akan halnya seorang pendusta, ia adalah tipikal manusia yang menganggap remeh segala aib dan kekurangan yang menempel pada dirinya. Sekalipun semua itu telah diketahui khalayak banyak. Sebuah ungkapan bijak bertutur, “Tidaklah seorang pendusta gemar berdusta, kecuali karena ia memang telah meremehkan segala perangai buruk.”

Dari sini kita bisa mafhum, sosok pendusta adalah orang yang acuh akan kebobrokan pekertinya. Baginya, akhlak tak perlu diperbaiki, tapi harus ditutupi dengan kalimat-kalimat bohong yang sedap. Berhasil membohongi orang-orang adalah suatu prestasi tersediri bagi orang macam ini. Al’Iyadzu Billah min Dzalik.

“Maklumilah, batin yang jujur takkan pernah membelokkan seseorang dari jalan kebenaran. Sebaliknya, ia senantiasa meluruskan. Manakala seseorang menghidupkan jiwanya dengan kebiasaan-kebiasaan baik dan jujur, maka lisannya sulit untuk mengucapkan kebohongan. Sebab, sejatinya, lisan adalah penerjemah hati. Ia tak mungkin melafalkan kata-kata yang tak pernah terbesik di hati. Jika hati jujur, bagaimana mungkin lisan berkata dusta. Ini sebuah musykil-mustahil.”

“Telah dijelaskan (dalam kitab—kitab para salaf), jika batin seseorang terlatih pada kebaikan, maka kebaikan itu lambat laun mendarah daging dalam karakternya. Hingga seumpama ia dibujuk-atau dipaksa-untuk berbuat dusta, ia akan menampik secara spontan. Sebab, jiwa, dengan karakter baik, sangat jauh dari sifat-sifat dusta.”

Memang, tak bisa disangkal, hati, lisan dan tubuh saling kait mengkait. Segala tutur yang diucapkan lisan hakikatnya bermuara dari hati. Jikalau hati itu baik, yang keluar dari lisan adalah kata-kata yang baik. Jika buruk, yang terucap adalah kata-kata keji dan dusta. Pun demikian seluruh kosa gerak tubuh kita. Semua itu adalah cermin tabiat yang mengendap di hati. Habib Muhammad meneruskan,

“Begitu pula segala perilaku tak elok yang dikerjakan manusia, berupa ucapan maupun perbuatan. Semua itu disebabkan rusaknya batin seseorang. Batin itu bisa menjadi rusak dikarenakan lemahnya akal budi orang seorang atau godaan hawa nafsu yang terlalu kencang mendera.”

“Yang jelas, batin setiap manusia senantiasa berkecamuk kala melakukan perbuatan nista. Jika ia adalah manusia pandai, namun tak kuasa menahan nafsu, ia akan menyesal di tengah maupun seusai perbuatan itu. Akan tetapi, bila ia adalah manusia yang berakal budi lemah, ia akan terus menikmati kenistaan itu. Tak ada kata sesal dalam batin orang model ini.”

Mari kita mengoreksi diri, termasuk model manakah kita ini? Yang pertama, atau yang kedua. Atau yang lebih dari kedua-duanya. Semoga tidak. (Diterjemah dari Idhah Asrar Ulumil Muqarrabin)

Selasa, 20 Oktober 2009

Kalam Habib Syaikhan bin Ali as-Segaf



Membedah Dua Tipikal Hati


Di dalam raga manusia terpendam segumpal daging. Wujudnya sungguh bermakna. Bila ia bersih, putih, tak terkontaminasi, maka manusia itu baik, saleh, dermawan, dan santun. Sebaliknya, bila warnanya hitam, dekil, berlumuran debu, maka manusianya keji, penipu, egois, dan penuh nafsu untuk memangsa manusia yang lain.

Hakikat hati itu bening, laksana cermin. Lalu ia berproses seiring usia. Lingkungan dan pergaulan adalah ekses-ekses yang mempengaruhi warna hati. Pendidikan juga menentukan. Sebab itu manusia musti mawas diri. Segala yang masuk harus disaring dengan jeli. Iman dan takwa adalah filter. Taubat dan istighfar adalah media untuk menetralisir.

Habib Syaikhan bin Ali as-Segaf, seorang ulama besar yang kubahnya menjadi monumen sakral di Bandar Mukalla, Hadramaut, membedah ihwal hati dengan kearifan makrifatnya. Seabad yang lampau, kalam-kalam beliau ini dicatat dan didokumentasikan dengan rapi menjadi manuskrip yang memperkaya khazanah kesalafan. Oh ya, beliau adalah ayahanda Habib Jakfar bin Syaikhan as-Segaf.

"Betapa bagus dan eloknya hati yang lembut, bertabur cinta, rahmat, kasih sayang, dan perhatian. Pitutur-pitutur bijak mudah diserapnya. Ia mencandu kebajikan. Dan hal-hal baik adalah perangai kesejatiannya. Ia mendamba orang-orang baik, antipati kepada kedurjanaan dan pelakunya. Hati macam ini penuh welas asih dan nasehat."

"Penanda orang yang dikaruniai hati sejernih ini adalah sikapnya yang lapang dada, jiwanya dermawan, tutur katanya santun, pemikirannya bersih, kasih sayang, murah senyum, raut muka yang sejuk dipandang, ringan tangan, sangkaannya selalu positif, serta ragawinya terjaga dari laku-laku maksiat. Tengara yang lain ialah suka bercanda akrab, aura wajahnya terang, dan rasa malu selalu melingkupi air mukanya. Orang macam ini tak betah pada perbuatan batil, dan kurang menikmati keramaian."

"Empunya hati serupa ini senantiasa beroleh penjagaan dari Allah SWT. Dirinya takkan pernah luput dari radar pengawasannya. Ciri-ciri orang ini adalah tawadhu', hatinya mudah koyak, merasa diri lemah dan fakir kepada-Nya, hanya cinta kepada perkara-perkara yang dicintai dan dipilih-Nya. Setitik amal saleh yang diperbuat orang berhati emas ini nilainya jauh lebih agung dari amal-amal yang dilakukan orang berhati keruh. Barangsiapa mengenal sosok ini, jangan bimbang, bersahabatlah dengannya, selalulah di dekatnya!"

Kira-kira, adakah manusia berhati mulia seperti ini sekarang? Di zaman yang telah coreng-moreng dengan kepalsuan? bila ada, ia adalah mutiara diantara kerikil-kerikil tajam yang menusuk. Yang umum saat ini adalah manusia berhati materialistik yang serakah dan diliputi angkara murka.

Gelap

Habib Syaikhan meneruskan, "Hati yang paling keji adalah hati yang telah membatu, alpa, dan jauh dari rasa kasih. Nasehat-nasehat senantiasa terpental darinya. Tak ada cinta, tak ada rahmat. Kesumat, sadisme, serta dengki tertanam subur dalam benaknya. Kebiasaannya busuk. Ia gemar memantik fitnah di tengah orang-orang. Dirinya tak pernah kuasa membendung gejolak hawa nafsunya. Akalnya kurang waras: merasa tak perlu menjauhi ghibah (gosip murahan), dan tak pernah memperhitungkan akibat-akibat dari tingkah polahnya."

"Model orang berhati nista seperti ini adalah sombong, pongah, narsis (merasa paling super), dan bangga diri. Perasaannya muak kala menyaksikan perbuatan-perbuatan baik dan pelakunya. Tak sekalipun ia mau mengakui kesalahannya. Ia menjauh dari orang-orang saleh dan ulama. Karakternya gila pujian dan menampik nasehat. Angan-angannya jauh, namun amalnya cuma sedikit. Kematian tak pernah terbayang dalam lubuk hatinya. Tiada rasa takut kepada Allah SWT. Sikapnya khianat dan suka berkhayal. Kedua matanya tak pernah basah oleh air mata. Seringanya menyeramkan, serta tak memiliki perasaan malu sedikit saja."

"Itulah jenis manusia rakus, tolol dan terlena. Jangan dekat-dekat dengannya, agar dirimu selamat dari berbagai mala, dan supaya ihwal baikmu tetap terjaga. Manalah mungkin manusia baik dan manusia keji berbaur? Seperti halnya cahaya yang terang takkan berpadu dengan kegelapan malam. Hikmah yang dipatrikan Allah SWT kepada setiap makhluknya niscaya berlaku. Hanya Dia yang menguasai segala urusan, yang lalu maupun yang bakal terjadi."

Tipe yang manakah hati yang terkandung dalam diri kita? Yang hitam, atau yang putih. Atau jangan-jangan, hati kita abu-abu tak menentu. Habib Syaikhan juga menambahkan sedikit wasiat,

"Amalan-amalan hati niscaya bersambung langsung ke hadirat Rabb SWT. Tak ada hijab, sebab, nyatanya, tiada yang sanggup melihat selain Dia. Makhluk-makhluk tak punya daya untuk membaca amal bakti kalbu. Karena itu ia terbebas dari infeksi riya' dan syak (keraguan). Nilai amalan-amalan hati teramat mahal. Bagai permata yang hanya dipunyai sedikit orang. Merekalah, para arifin, yang memilikinya. Merekalah para peniti suluk yang agung." (Diterjemah dari kitab kumpulan kalam Habib Syaikhan yang tersimpan di koleksi kitab kediaman Habib Taufik Assegaf, Pasuruan)