Sabtu, 29 September 2012

Biografi Sayid Ahmad Zaini Dahlan (Bagian 1)




Benteng Aswaja di Bumi Haramain

Sayid Ahmad Zaini Dahlan adalah salah seorang “Syaikhul Islam” yang ilmu dan dakwahnya menyebar ke seluruh penjuru dunia. Ia merupakan guru terkemuka di Masjidil Haram yang kala itu menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan Islam. Murid-muridnya datang dari berbagai belahan bumi.

Sayid Ahmad Zaini masih keturunan “Quthub Rabbany”, Syeikh Abdul Qodir Jaelani. Nasab lengkapnya: Ahmad bin Zaini Dahlan bin Ahmad Dahlan bin Utsman Dahlan bin Nikmatullah bin Abdurahman bin Muhammad bin Abdullah bin Utsman Bin Athaya bin Faris bin Mustafa bin Muhammad bin Ahmad bin Zaini bin Abdul Qodir bin Abdul Wahab bin Muhammad bin Abdur Razaq bin Ali bin Ahmad bin Al-Hasan bin “Sulthonul Auliya” Syeikh Abdul Qodir Jaelani Al-Hasani.

Al-Allamah Sayid Bakrie bin Muhammad Satho Al-Makky, penulis Hasyisah “I’anatut Thalibin” yang pernah berguru kepada Sayid Ahmad, mencatat dalam kitabnya “Nafkhah Ar-Rahman” bahwa Sayid Ahmad dilahirkan di kota Mekkah pada tahun 1232 Hijriyah. Ia mengecap pendidikan dasar dari ayahandanya sendiri sampai berhasil mengahafalkan Al-Qur’an dan sejumlah kitab matan dasar seperti Alfiyah, Zubad dan lain-lain. Selanjutya ia menuntut ilmu di Masjidil Haram kepada beberapa guru besar di masa itu. Al-Allamah Syeikh Utsman bin Hasan ad-Dimyathi al-Azhari adalahSyeikh Futh(penyingkap rahasia ilmu) yang banyak mempengaruhi sisi keilmuanya.

Di samping itu, Sayid Ahmad pernah memperoleh ijazah dan ilbas eksklusif dari Habib Muhammad bin Husein Al-Habsyi, mufti Mekah. Ia memiliki sanad ilmu dari Habib Umar bin Abdullah Al-Jufri dan Habib Abdur Rahman bin Ali Assegaf.

Dalam perjalanannya Sayid Ahmad mendalami fikih madzhab Imam Hanafi kepada Al-Allamah Sayid Muhammad Al-Katbi. Pada akhirnya ia menguasai fikih empat mazhab dengan sempurna. Setiap kali ada pertanyaan ditujukan kepadanya, ia senantiasa menjawab dengan rujukan empat mazhab tersebut.

Bila ada permasalahan sulit dan para ulama tak mendapatkan jawaban, Sayid Ahmad menjadi pemecah kebuntuan. Karena ketinggian ilmunya itu Sayid Ahmad ditahbiskan sebagau pengajar nomor wahid di Masjidil Haram. Padahal untuk menjadi pengajar Masjidil Haram, seseorang mesti lulus uji kemampuan kurang lebih 15 macam disiplin ilmu dari para ulama besar yang ahli di bidangnya masing-masing.

Meski demikian status elit itu tidak membuat sosok Sayid Ahmad Zaini besar kepala. Ia tetap mengedepankan musyawarah dan diskusi bersama ulama lain dalam menyikapi permasalahan umat.

Sabtu, 22 September 2012

AGAR KHUSUK DALAM SHALAT



(Nasehat Habib Umar bin Segaf as-Segaf as-Shofiy, Sewun, Hadramaut)



 
"Ada enam hal yang bisa membimbing seseorang meraih khusuk dan hudur dalam shalatnya. Pertama, berkonsentrasi penuh untuk shalat. Kedua, senantiasa menjaga kesucian diri (dari hadas). Ketiga, memfokuskan diri dan hatinya. Keempat, berdiri lurus. Kelima, membaca surat An-Nas sebelum shalat. Keenam, melafalkan kalimat “La ilaha illallah” lalu memohon perlindungan kepada Allah dari godaan setan dengan membaca ta’awuz. Ketujuh, membayangkan dirinya berdiri di hadapan Allah SWT dan menepis segala sesuatu selain-Nya."

"Di antara penumbuh keresahan dan kesusahan yang berkepanjangan dalam hati adalah kegalauan tatkala kehilangan harta benda. Oleh karenanya, jangan terlalu menyesali barang yang hilang. Dunia beserta isinya tiada yang kekal. Hiburlah diri dengan pikiran positif. Seumpama musibah itu menimpa anak atau keluarga, niscaya kesedihan dan kesusahan yang anda rasakan lebih besar."

Amirul mukminin, Umar bin Al-Khattab pernah bertutur, “Tatkala diriku tertimpa musibah, aku tetap berkeyakinan bahwa Allah SWT mengkaruniai diriku tiga kenikmatan: Pertama, Ia memberi keringanan dengan tidak menimpakan musibah yang lebih besar, padahal Ia teramat mampu untuk melakukannya. Kedua, Ia tidak menimpakan musibah dalam urusan agamaku. Yang terakhir, berkat musibah itu aku beroleh pahala yang melimpah dari-Nya di hari kiamat kelak.

Sabtu, 04 September 2010

Kalam Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi


Taubat Adalah Jendela

Benar, manusia adalah makhluk yang lemah. Mereka mudah ditaklukkan hasrat dan ambisi. Apalagi kala keduanya menggelegak dengan dahsyatnya. Tanpa kendali yang stabil, manusia bakal melesat, menerjang dosa-dosa yang bertabur kenikmatan yang ambigu itu.
Untunglah seorang mukmin dibekali iman. Dengan itu ia kuasa membendung nafsunya. Iman adalah perisai. Memang, tidak semua imannya kukuh. Banyak yang rapuh dan rentan kala di dera godaan-godaan. Sesekali mereka terperosok ke dalam lembah nista nan gelap gulita itu. Saat itulah Allah SWT memperkenankan sebuah solusi: taubat.
"Taubat adalah kembali, dari jalan yang jauh menuju yang dekat," begitulah Imam Ahmad bin Zein al-Habsyi memberikan makna. " Jalan jauh itu adalah maksiat, dosa-dosa, serta perbuatan yang merenggangkan manusia dari Allah SWT. Barangsiapa kembali kepada Allah SWT dan menapaki jalan dekat-Nya dengan ikhlas, maka dialah insan bertaubat."
Berkenaan dengan tingkatan taubat, Habib Ahmad mengurai, "Taubat takkan mungkin wujud tanpa melewati proses ilmu, iman dan yakin. Perbuatan dosa adalah laku yang menghempaskan manusia dari dekapan-Nya. Hakikatnya, dosa itu sungguh berbahaya bagi seorang mukmin-di dunia maupun akhirat."
"Tahapan taubat berikutnya adalah penyesalan. Orang yang bertaubat mesti menyesali maksiat-maksiat yang lampau. Dilepaskannya dosa-dosa yang membelenggu dirinya itu dan bertekad tak bakal mengulanginya di waktu mendatang. Ia sadar, dosa-dosa itu hanya akan menjauhkannya dari Yang Mahasuci, dan mendepak dirinya dari pintu maaf-Nya. Inilah taubat yang nyata, yang berpijak pada keinsyafan yang ikhlas. Tidak semua taubat itu ikhlas. Namun perlu dipahami, taubat adalah langkah pertama bagi mereka yang hendak menempuh perjalanan makrifat kepada-Nya, menyelami zat dan sifat-sifat-Nya, asma-asma-Nya, serta gelar-gelar-Nya yang agung."
"Taubat adalah pangkal cinta kepada Allah SWT. Taubat adalah jendela untuk mengintip keelokan ihwal-Nya, dalam arti sebatas kemampuan seseorang dalam makrifat. Sejatinya, tiada yang mengenal Allah SWT lebih dari diri-Nya. Tak seorang pun kuasa menjelajahi bentangan jalan-Nya kecuali mereka yang dibelenggu rasa cinta pada-Nya. Karena itulah, Dia SWT mencintai manusia-manusia yang bertaubat."

TAUBAT NASUHA
Begitu luas definisi taubat. Para pemilik makrifat menempatkan taubat sebagai bahasan pertama dalam karya-karya mereka. Bagi mereka taubat adalah gerbang utama. Dari situlah segala kebaikan beranjak. Taubat sendiri memiliki ragam. Dan taubat yang sempurna adalah taubat nasuha. Habib Ahmad mengutarakan lebih lanjut,
"Taubat nasuha adalah taubat yang seutuhnya, ikhlas. Allah SWT berfirman,

"Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai"

"Taubat nasuha adalah taubat yang bebas dari duri-duri yang melintang, serta jernih dari noda-noda yang mengotori. Allah SWT berfirman,

"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri"

"Mukmin yang bertaubat adalah mukmin yang kembali. Tawwab artinya orang yang sering kembali kepada Allah SWT-setelah menjauh, juga kembali kepada manusia dengan maaf yang luas. Untuk itulah dalam salah satu hadis, Rasulullah SAW mengisyaratkan, "Allah SWT mencintai orang yang didera cobaan (dosa) namun lekas-lekas bertaubat."
"Tergolong taubat yang nasuha bila seseorang bertaubat lalu ia berteguh pada taubatnya itu-sampai akhir umurnya. Dalam benaknya tak terlintas lagi hasrat-hasrat untuk mengulangi perbuatan dosanya. Ia kemudian memacu sisa umurnya untuk menambal segenap kekurangan. Akan tetapi tidak bisa dipungkiri, dalam kodratnya sebagai manusia, nafsunya akan senantiasa membisikkan maksiat-maksiat padanya. Hal ini masih ditolerir, selama ia tak terbawa bisikan itu. Begitu pula manakala ia tercebur dalam dosa-dosa yang tak terencanakan, bila ia segera melepaskan diri dan mencela dirinya atas perbuatan itu."
"Dalam sebuah hadis marfu', Imam Ali karramallahu wajhah pernah bertutur, "Manusia pilihan di antara kamu adalah ia yang terkena deraan dosa namun bersedia taubat." Akan tetapi manusia yang lalai dari Allah SWT atau yang pernah berbuat dosa pasti merasakan ganjaran. Minimal, kenikmatan munajatnya berkurang, dan ia termaktub dalam catatan orang-orang yang berbuat dosa."
"Insan yang dikarunia kepekaan hati, perasaan takut dan takwa, akan senantiasa dipenuhi harapan baik. Ia selalu berpihak pada kebaikan. Dan Yang Maha Suci melapangkan jalannya meraih kebaikan itu."
"Sekali lagi, taubat adalah pijakan pertama bagi siapa saja yang meniti jalan-Nya. Taubat merupakan modal awal bagi orang-orang yang beroleh kesuksesan, kunci teguhnya mereka yang memegang Islam, dan penyebab terpilihnya seorang wali."
"Mengertilah, taubat adalah langkah awal bagi mereka yang hendak mengarungi keridhaan-Nya. Kebanyakan maqam-maqam mulia terkategorikan ke dalam taubat yang absah. Seperti maqam sabar dan mujahadah. Barangsiapa bertaubat, berarti ia bersyukur, takut, berharap dan cinta. Taubat adalah inti takwa. Namun ada satu hal yang mesti dicamkan baik-baik. Taubat takkan wujud tanpa keikhlasan dan kesungguhan."
Pernahkah kita merasa perlu bertaubat? Dari kesalahan, dari kelancungan kita kepada Pencipta dan ciptaan-ciptaan-Nya? Berat untuk mengatakan ya.

Rabu, 21 Juli 2010

Khalifah Akhir Zaman


Setiap jiwa pasti akan merasakan kematian. Bagaimana tidak, kematian adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan. Yang terpenting bagi manusia adalah bagaimana menjalani kehidupannya yang singkat ini dengan penuh manfaat, sehingga kematian yang datang akan menjadi gerbang yang mengantarkan dirinya menuju kebahagiaan dan kenikmatan yang hakiki.
Berita tentang kematian memang senantiasa terasa pahit. Demikianlah yang dirasakan umat Islam tatkala mendengar kemangkatan Habib Abdul Qadir bin Ahmad as-Segaf, seorang ulama, cendekia, pakar segala bidang ilmu, dan tokoh yang sangat getol menyebarkan ilmu dan dakwah kepada kaum muslimin di seluruh penjuru dunia. Beliau wafat tepat pada subuh Ahad 19 Rabiul Akhir 1431 Hijriah atau 4 April 2010 Masehi di kota Jedah, Saudi Arabia. Jenazah beliau dikebumikan di pemakaman Ma'la Mekkah Almukarromah. Sholat jenazah dilaksanakan hingga 3 kali, di kediaman beliau di Jeddah, di Masjidil Haram dan di pekuburan Ma'la.
Tak bisa dipungkiri, Habib Abdul Qadir bin Ahmad adalah fenomena abad ini. Beliau telah ditakdirkan sebagai penerus kepemimpinan salaf. Beliau merupakan imam yang menjadi rujukan segala persoalan dan kegundahan yang dialami umat. Tengoklah apa yang diucapkan Habib Alwi bin Abdullah as-Segaf, seorang mufti Sewun yang meninggal dunia di Mesir pada tahun 1392 H. Beliau berkata, “Tatkala kamu (Habib Abdul Qadir bin Ahmad) duduk di hadapanku, sedang aku tengah mendapatkan suatu persoalan yang pelik, maka cukup dengan memandangmu, dan persoalan itu pun terurai …”
Di dalam hidup ini sebenarnya tak ada jalan pintas menuju kesuksesan. Setiap orang harus mendaki tebing terjal agar dapat mencapai suatu puncak. Itulah yang dijalani Habib Abdul Qadir bin Ahmad. Sejak usia yang sangat belia, beliau mendapatkan pendidikan yang intens dari sang ayahanda, Habib Ahmad bin Abdurrahman as-Segaf. Habib Abdul Qadir memang beruntung mempunyai orang tua yang hebat. Habib Ahmad adalah seorang ulama yang berpengetahuan luas dan sangat disegani. Di masanya, Habib Ahmad dijuluki “Khalifatus Salaf” (Sang Penerus Salaf). Ia adalah murid kesayangan Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, Shahibul Maulid, bahkan murid pertama yang mendapat izin dari Habib Ali untuk mengajar dan berdakwah.
Habib Abdul Qadir memang dikader untuk menjadi khalifah. Beliau mendapatkan perhatian dan tarbiyah khusus dari Habib Ahmad. Sejak usia kanak-kanak, Habib Abdul Qadir senantiasa berada di dekat ayahnya, sampai wafatnya sang ayah pada bulan Muharram tahun 1357 Hijriah.
Selain kepada ayahandanya, Habib Abdul Qadir mempelajari dasar-dasar ilmu agama kepada Syeikh Thaha Abdullah Bahmid. Beliau tercatat pernah menuntut ilmu di Madrasah an-Nahdhatul Ilmiyyah. Beliau juga berhasil menghafal Al-Qur’anul Karim dan menguasai qiraah as-sab'ah di bawah bimbingan Syeikh Hasan bin Abdullah Baraja.”
Habib Abdul Qadir bin Ahmad memperdalam ilmunya dengan belajar kepada ulama-ulama besar yang telah mencapai tataran mufti di Hadramaut. Di antara guru-guru beliau adalah Habib Muhammad bin Hadi as-Segaf, Habib Abdurrahman bin Ubaidillah as-Segaf, Habib Hamid bin Alwi al-Bar, Habib Abdullah bin Umar as-Syathiri, Habib Musthafa bin Ahmad al-Muhdor, Habib Umar bin Hamid As-Saqqaf, Habib Abdullah bin Alwi Al-Habsyi, Habib Umar bin Abdul Qadir As-Saqqaf, Habib Abdullah bin Aidrus dan masih banyak yang lain lagi.
Karena masih ingin memperluas pengetahuannya, Habib Abdul Qadir memutuskan berhijrah ke Haramain untuk menimba ilmu kepada beberapa pakar ilmu di negeri itu. Di sini beliau belajar pada Habib Abu Bakar bin Salim al-Bar, Habib Hasan bin Muhammad as-Segaf dan lainnya.
Kecerdasan dan ketekunan dalam menggali pengetahuan dari para ulama itu mengantarkan Habib Abdul Qadir menjadi orang yang alim. Ia menguasai berbagai bidang ilmu, mulai fikih, hadits, tarikh, sastra, tasawuf dan lainnya. Dipadu dengan akhlaknya yang santun, wara’, rendah hati, dan dermawan, maka lengkaplah sosok Habib Abdul Qadir sebagai seorang ulama. Da’wahnya diterima semua kalangan, baik orang-orang awam maupun kaum intelektual. Para ulama pun tak canggung menahbiskan beliau sebagai qutub (pemimpin ulama) di abad ini.

PRIBADI YANG LEMBUT
Habib Abdul Qadir bin Ahmad as-Segaf lahir di kota Sewun, Hadramaut pada bulan Jumadal Akhirah tahun 1331 Hijriah atau 1911 Masehi. Beliau dibesarkan di tengah kultur salaf yang sangat kental. Ayahnya, Habib Ahmad, senantiasa mengajarkan nilai-nilai keagamaan dengan kedisiplinan tinggi. Habib Ahmad mengharuskan putra-putranya melaksanakan shalat dengan berjama’ah, terutama di Masjid Thaha, Sewun.
Lingkungan itu membentuk pribadi Habib Abdul Qadir menjadi seorang yang istiqamah. Belakangan, sebelum pindah ke Hijaz, beliau dikenal sangat memperhatikan kemakmuran masjid Thaha yang didirikan datuknya, Habib Thaha bin Umar as-Segaf. Di masjid ini ia senantiasa melaksanakan shalat jama’ah dan menghadiri berbagai majelis. Semangat untuk menghidupkan masjid peninggalan para salaf itu beliau wariskan kepada sanak keluarga. Habib Thaha bin Hasan as-Segaf, keponakan Habib Abdul Qadir berkisah,
“Suatu malam, terdengar pengumuman dari instansi pemerintah akan adanya pertemuan di suatu tempat (di Sewun) seusai shalat maghrib. Aku melaksanakan shalat maghrib di masjid Thaha lalu keluar untuk sekadar menyaksikan pertemuan itu. Ketika itu aku masih kanak-kanak. Selepas Isya’ aku pulang ke rumah Habib Abdul Qadir. Begitu melihatku, beliau langsung menyapa, ‘Hai Thaha, di mana kamu setelah maghrib tadi? Aku mencari-carimu di sekeliling masjid Thaha, tapi tak mendapatkanmu. Kamu tak kelihatan melakukan hizib di majelis. Kutanyakan kepada temanmu, Ahmad bin Shofi perihal keberadaanmu, tapi ia mengatakan tak tahu. Pergi ke mana kamu?’ demikian kisah Habib Thaha.”
Aku pun mengaku bahwa usai melaksanakan shalat maghrib di masjid Thaha aku keluar untuk melihat pertemuan. “Apa yang kamu dapatkan dari pertemuan itu?” tanya beliau. “Apakah mereka mengundangmu? Aku saja yang mendapat undangan tidak hadir.” Aku diam tidak menjawab. Namun hatiku merasakan penyesalan yang sangat besar. Beliau telah memberiku nasehat dengan cara yang begitu lembut, tanpa celaan, tanpa kata-kata kasar.”

PUNCAK PRESTASI
Semangat da’wah Habib Abdul Qadir sangatlah besar. Beliau berkeliling dunia untuk mengajak umat Islam kembali kepada ajaran Rasulullah SAW. Beberapa negara yang kerap beliau kunjungi antara lain: Indonesia, Malaysia, Singapura, Syam, Mesir, Irak dan negara-negara muslim di Afrika.
Ya, Habib Abdul Qadir telah mencapai puncak prestasinya. Ilmu dan akhlak beliau tak tertandingi di masanya. Salah seorang karib beliau, Habib Ibrahim bin Aqil bin Yahya bersyair:

Sang Ilahi telah menghimpun segala sifat elok
Di dalam diri Al-Ghauts Abdul Qadir as-Segaf

Dengannya Al-Maula SWT menghidupkan ilmu kitab-Nya
Berkatnya jalan para salaf senantiasa lurus….

Semasa hidupnya, Habib Abdul Qadir telah mengkader para pemuda generasi di bawahnya untuk menjadi ulama penerus. Di antara murid-murid beliau adalah Habib Thaha bin Hasan as-Segaf (keponakan beliau sendiri), Habib Salim bin Abdullah as-Syathiri (Sultan Ulama, pengasuh Rubat Tarim), Habib Abu Bakar al-Adniy bin Ali al-Masyhur, Sayid Muhammad bin Alwi al-Maliki, Habib Zain bin Ibrahim bin Sumaith, Habib Umar bin Muhammad bin Hafidh, Habib Husein bin Muhammad bin Hadi as-Segaf, Habib Abdul Qadir bin Salim Khired, Habib Muhammad bin Abdullah al-Muhdor (Mufti Hiban), Habib Umar bin Hamid al-Jilaniy, dan Habib Ali bin Abdurrahman al-Jufriy. Kalam-kalam beliau di berbagai kesempatan dicatat dan dibukukan oleh dua murid beliau, Habib Thaha bin Hasan as-Segaf dan Habib Abu Bakar al-Adniy bin Ali al-Masyhur.
Kini beliau telah pergi menghadap Sang Khalik. Beliau meninggalkan kita di dunia yang semakin senja dan gelap ini. Sesungguhnya, kita semua masih sangat membutuhkan tuntunan orang-orang seperti beliau ini. Kita masih begitu rapuhnya untuk dapat berjalan sendiri tanpa bimbingan. Sekalipun begitu, dengan berpegang pada nilai-nilai yang diwariskannya,Insya Allah kita akan bisa melangkah dan sampai di tujuan dengan selamat…..!

Sabtu, 24 Oktober 2009

Kalam Habib Muhammad bin Abdullah al-Aydrus



Antara Jujur Dan Dusta

Sadarkah kita, apa yang hilang dari negeri ini? Kejujuran. Ya. Kejujuran sepertinya punah di negeri ini. Ia telah menjadi semacam fosil yang terkubur jauh di lubuk gunung karang nun di dasar samudera sana, sulit untuk dicari.

Kini, negeri ini riuh dengan dusta. Di pasar, di kantor-kantor, di lapak-lapak pertokoan, di layar-layar televisi, dusta mewabah begitu dahsyatnya. Nyaris tak sejengkal perilaku dan ucapan pun terselamatkan dari kuman-kuman dusta. Walhasil, seperti kita rasakan sekarang, negeri tercinta ini pun ambruk ke kubangan krisis. Dan, sulit rasanya untuk bangun kembali bila tetap bertumpu pada pilar-pilar dusta itu.

Untuk itu, mari kita coba berdiri dengan energi kejujuran. Kita lazimkan kejujuran di setiap perbuatan dan perkataan kita. Insya Allah, bukan tidak mungkin, kita segera bangkit. Kita kembali kokoh seperti dahulu lagi. Yakinlah, dengan bekal kejujuran, kita dilingkupi berkah dan inayah yang melimpah dari Allah jalla jalaaluhu. Camkan nasehat Habib Muhammad bin Abdullah bin Syekh al-Aydrus berikut ini,

“Saudaraku, ketahuilah, manakala dirimu berlaku jujur dalam mengejar cita-cita, dan setia menjaga perilaku dengan muamalah yang baik, maka Sang Kuasa bakal mengarahkan pertolongan-Nya padamu, Ia SWT takkan segan menaburkan berkah padamu, dan membuatmu merasakan manisnya pergaulan, hingga hatimu pun menjadi lapang.”

“Sudah sepatutnya, saudaraku,” lanjut Habib Muhammad. “letakkanlah kejujuran di pelupuk mata, selalu. Jadikanlah ia sebagai landasan atas tujuan-tujuanmu. Sebutir petuah berkata penuh kearifan, “Kejujuran adalah pedang Allah SWT di persada bumi ini. Tidaklah ia diletakkan pada sesuatu, kecuali ia akan memotongnya.”

Maksud petuah diatas kurang lebih sebagai berikut; kejujuran adalah senjata pamungkas bagi setiap individu untuk meraup kesuksesan. Sebab, dengan jujur ia bisa dipercaya orang. Dengan kepercayaan itu, seorang pegawai akan mudah menapaki tangga karir. Bermodal kepercayaan, seorang saudagar akan lebih lancar memutar roda niaganya.

Selanjutnya Habib Muhammad menguarai lebih dalam lagi soal kejujuran, “Ketahuilah, kejujuran ada dua definisi. Kejujuran lisan dan kejujuran hati. Kejujuran hati adalah akar kejujuran lisan. Ia adalah sandaran manusia. Kejujuran lisan amatlah baik. Tapi kejujuran hati adalah sumber kebaikan itu. Hati yang jujur adalah lambang keelokan batin dan jiwa seseorang.

“Adapun dusta, ia adalah perilaku buruk. Dan dusta yang mengerak di hati lebihlah buruk. Itu adalah tengara keroposnya batin seseorang. Hati yang berlumuran dusta adalah hati dari sebuah jiwa yang bermatabat rendah. Dari hati ragam inilah, praktek-praktek lancung senantiasa tumbuh. Perbuatan-perbuatan itu senyatanya lebih menjijikkan dari dusta berwujud kata-kata. Kebohongan akan selalu mewarnai tindak-tanduk orang yang berbatin rusak itu.”

“Manusia, manakala hidup dengan kualitas jiwa rendah, serta tak peduli lagi dengan pandangan-pandangan negatif atas dirinya, maka, tingkah lakunya senantiasa merefleksikan kebusukan dan kehinadinaan di dalam pribadinya. Sedang manusia mulia, ia senantiasa menyadari segala kekurangannya, kemudian segera membenahinya, sekalipun orang sekitar tak pernah memerhatikannya.”

“Akan halnya seorang pendusta, ia adalah tipikal manusia yang menganggap remeh segala aib dan kekurangan yang menempel pada dirinya. Sekalipun semua itu telah diketahui khalayak banyak. Sebuah ungkapan bijak bertutur, “Tidaklah seorang pendusta gemar berdusta, kecuali karena ia memang telah meremehkan segala perangai buruk.”

Dari sini kita bisa mafhum, sosok pendusta adalah orang yang acuh akan kebobrokan pekertinya. Baginya, akhlak tak perlu diperbaiki, tapi harus ditutupi dengan kalimat-kalimat bohong yang sedap. Berhasil membohongi orang-orang adalah suatu prestasi tersediri bagi orang macam ini. Al’Iyadzu Billah min Dzalik.

“Maklumilah, batin yang jujur takkan pernah membelokkan seseorang dari jalan kebenaran. Sebaliknya, ia senantiasa meluruskan. Manakala seseorang menghidupkan jiwanya dengan kebiasaan-kebiasaan baik dan jujur, maka lisannya sulit untuk mengucapkan kebohongan. Sebab, sejatinya, lisan adalah penerjemah hati. Ia tak mungkin melafalkan kata-kata yang tak pernah terbesik di hati. Jika hati jujur, bagaimana mungkin lisan berkata dusta. Ini sebuah musykil-mustahil.”

“Telah dijelaskan (dalam kitab—kitab para salaf), jika batin seseorang terlatih pada kebaikan, maka kebaikan itu lambat laun mendarah daging dalam karakternya. Hingga seumpama ia dibujuk-atau dipaksa-untuk berbuat dusta, ia akan menampik secara spontan. Sebab, jiwa, dengan karakter baik, sangat jauh dari sifat-sifat dusta.”

Memang, tak bisa disangkal, hati, lisan dan tubuh saling kait mengkait. Segala tutur yang diucapkan lisan hakikatnya bermuara dari hati. Jikalau hati itu baik, yang keluar dari lisan adalah kata-kata yang baik. Jika buruk, yang terucap adalah kata-kata keji dan dusta. Pun demikian seluruh kosa gerak tubuh kita. Semua itu adalah cermin tabiat yang mengendap di hati. Habib Muhammad meneruskan,

“Begitu pula segala perilaku tak elok yang dikerjakan manusia, berupa ucapan maupun perbuatan. Semua itu disebabkan rusaknya batin seseorang. Batin itu bisa menjadi rusak dikarenakan lemahnya akal budi orang seorang atau godaan hawa nafsu yang terlalu kencang mendera.”

“Yang jelas, batin setiap manusia senantiasa berkecamuk kala melakukan perbuatan nista. Jika ia adalah manusia pandai, namun tak kuasa menahan nafsu, ia akan menyesal di tengah maupun seusai perbuatan itu. Akan tetapi, bila ia adalah manusia yang berakal budi lemah, ia akan terus menikmati kenistaan itu. Tak ada kata sesal dalam batin orang model ini.”

Mari kita mengoreksi diri, termasuk model manakah kita ini? Yang pertama, atau yang kedua. Atau yang lebih dari kedua-duanya. Semoga tidak. (Diterjemah dari Idhah Asrar Ulumil Muqarrabin)

Selasa, 20 Oktober 2009

Kalam Habib Syaikhan bin Ali as-Segaf



Membedah Dua Tipikal Hati


Di dalam raga manusia terpendam segumpal daging. Wujudnya sungguh bermakna. Bila ia bersih, putih, tak terkontaminasi, maka manusia itu baik, saleh, dermawan, dan santun. Sebaliknya, bila warnanya hitam, dekil, berlumuran debu, maka manusianya keji, penipu, egois, dan penuh nafsu untuk memangsa manusia yang lain.

Hakikat hati itu bening, laksana cermin. Lalu ia berproses seiring usia. Lingkungan dan pergaulan adalah ekses-ekses yang mempengaruhi warna hati. Pendidikan juga menentukan. Sebab itu manusia musti mawas diri. Segala yang masuk harus disaring dengan jeli. Iman dan takwa adalah filter. Taubat dan istighfar adalah media untuk menetralisir.

Habib Syaikhan bin Ali as-Segaf, seorang ulama besar yang kubahnya menjadi monumen sakral di Bandar Mukalla, Hadramaut, membedah ihwal hati dengan kearifan makrifatnya. Seabad yang lampau, kalam-kalam beliau ini dicatat dan didokumentasikan dengan rapi menjadi manuskrip yang memperkaya khazanah kesalafan. Oh ya, beliau adalah ayahanda Habib Jakfar bin Syaikhan as-Segaf.

"Betapa bagus dan eloknya hati yang lembut, bertabur cinta, rahmat, kasih sayang, dan perhatian. Pitutur-pitutur bijak mudah diserapnya. Ia mencandu kebajikan. Dan hal-hal baik adalah perangai kesejatiannya. Ia mendamba orang-orang baik, antipati kepada kedurjanaan dan pelakunya. Hati macam ini penuh welas asih dan nasehat."

"Penanda orang yang dikaruniai hati sejernih ini adalah sikapnya yang lapang dada, jiwanya dermawan, tutur katanya santun, pemikirannya bersih, kasih sayang, murah senyum, raut muka yang sejuk dipandang, ringan tangan, sangkaannya selalu positif, serta ragawinya terjaga dari laku-laku maksiat. Tengara yang lain ialah suka bercanda akrab, aura wajahnya terang, dan rasa malu selalu melingkupi air mukanya. Orang macam ini tak betah pada perbuatan batil, dan kurang menikmati keramaian."

"Empunya hati serupa ini senantiasa beroleh penjagaan dari Allah SWT. Dirinya takkan pernah luput dari radar pengawasannya. Ciri-ciri orang ini adalah tawadhu', hatinya mudah koyak, merasa diri lemah dan fakir kepada-Nya, hanya cinta kepada perkara-perkara yang dicintai dan dipilih-Nya. Setitik amal saleh yang diperbuat orang berhati emas ini nilainya jauh lebih agung dari amal-amal yang dilakukan orang berhati keruh. Barangsiapa mengenal sosok ini, jangan bimbang, bersahabatlah dengannya, selalulah di dekatnya!"

Kira-kira, adakah manusia berhati mulia seperti ini sekarang? Di zaman yang telah coreng-moreng dengan kepalsuan? bila ada, ia adalah mutiara diantara kerikil-kerikil tajam yang menusuk. Yang umum saat ini adalah manusia berhati materialistik yang serakah dan diliputi angkara murka.

Gelap

Habib Syaikhan meneruskan, "Hati yang paling keji adalah hati yang telah membatu, alpa, dan jauh dari rasa kasih. Nasehat-nasehat senantiasa terpental darinya. Tak ada cinta, tak ada rahmat. Kesumat, sadisme, serta dengki tertanam subur dalam benaknya. Kebiasaannya busuk. Ia gemar memantik fitnah di tengah orang-orang. Dirinya tak pernah kuasa membendung gejolak hawa nafsunya. Akalnya kurang waras: merasa tak perlu menjauhi ghibah (gosip murahan), dan tak pernah memperhitungkan akibat-akibat dari tingkah polahnya."

"Model orang berhati nista seperti ini adalah sombong, pongah, narsis (merasa paling super), dan bangga diri. Perasaannya muak kala menyaksikan perbuatan-perbuatan baik dan pelakunya. Tak sekalipun ia mau mengakui kesalahannya. Ia menjauh dari orang-orang saleh dan ulama. Karakternya gila pujian dan menampik nasehat. Angan-angannya jauh, namun amalnya cuma sedikit. Kematian tak pernah terbayang dalam lubuk hatinya. Tiada rasa takut kepada Allah SWT. Sikapnya khianat dan suka berkhayal. Kedua matanya tak pernah basah oleh air mata. Seringanya menyeramkan, serta tak memiliki perasaan malu sedikit saja."

"Itulah jenis manusia rakus, tolol dan terlena. Jangan dekat-dekat dengannya, agar dirimu selamat dari berbagai mala, dan supaya ihwal baikmu tetap terjaga. Manalah mungkin manusia baik dan manusia keji berbaur? Seperti halnya cahaya yang terang takkan berpadu dengan kegelapan malam. Hikmah yang dipatrikan Allah SWT kepada setiap makhluknya niscaya berlaku. Hanya Dia yang menguasai segala urusan, yang lalu maupun yang bakal terjadi."

Tipe yang manakah hati yang terkandung dalam diri kita? Yang hitam, atau yang putih. Atau jangan-jangan, hati kita abu-abu tak menentu. Habib Syaikhan juga menambahkan sedikit wasiat,

"Amalan-amalan hati niscaya bersambung langsung ke hadirat Rabb SWT. Tak ada hijab, sebab, nyatanya, tiada yang sanggup melihat selain Dia. Makhluk-makhluk tak punya daya untuk membaca amal bakti kalbu. Karena itu ia terbebas dari infeksi riya' dan syak (keraguan). Nilai amalan-amalan hati teramat mahal. Bagai permata yang hanya dipunyai sedikit orang. Merekalah, para arifin, yang memilikinya. Merekalah para peniti suluk yang agung." (Diterjemah dari kitab kumpulan kalam Habib Syaikhan yang tersimpan di koleksi kitab kediaman Habib Taufik Assegaf, Pasuruan)